TAKBIR BISU UNTUK RAHMA
Tubuh Rahma terguncang hebat, jemari
kecilnya menggenggam selimut kumal. Gigi gemeretak. Dipan tua dengan
rengekan yang khas menjadi alas tidur bocah kecil berumur tujuh tahun
itu.
Di atas meja, semangkuk bubur putih belum tersentuh. Ada
beberapa butir obat dari Puskesmas tersimpan rapat dalam plastik klip
ukuran kecil.
"Emaak, dingiinn ... Maakk ..." desis Rahma di antara gigil tubuhnya.
Wanita separuh baya tergopoh-gopoh dari ruang belakang rumah.
“Sini … mamak peluk, mana yang sakit, Nduk?” Mak Karsi memeluk tubuh Rahma yang menggigil.
Gadis kecil itu meringkuk dalam dekapan. Matanya terpejam menahan demam
tubuh yang semakin tinggi. Rahma merasakan sakit di bagian
tenggorokannya seolah menyumbat ruang pernapasan. Gendang telinga
berdengung kencang bersahutan dengan tiap sesenggukan. Air mata pun
meleleh mengairi pipi dua perempuan yang saling berpelukan.
Sejurus kemudian, tubuh Rahma lemas terkulai di pelukan Mak Karsi.
“Rahmaa … ada apa nduk? Bilang Mamak mana yang sakit, Rahmaa … sadar,
Nduk … banguun …!?” Mak Karsi setengah berteriak sambil mengguncang
tubuh Rahma yang mulai pucat. Bibirnya terkatup rapat. Matanya pun
terpejam.
“Duuh … Gustii … kumohon beri lah kesembuhan pada anak
hamba, hamba rela menukar dengan nyawa hamba, Gustii …?” Mak Karsi
histeris, air matanya menganak sungai.
Sebentar Ia bangkit dan meninggalkan tubuh Rahma di atas dipan.
Di luar hujan menderas. Tanah-tanah berlapis rumput di hantam hujan, Hari ke 27 bulan Ramadan.
Mak Karsi berlari sekencang mungkin mencari bantuan. Puskesmas satu-satunya ada di tengah desa.
Dan Ia teringat Bang Dadang, tetangganya yang tukang becak.
Bergegaslah kaki Mak Karsi menantang hujan. Tak di rasa lagi segala keletihannya di sawah tadi siang.
Yah, Mak Karsi harus banting tulang sendiri menghidupi putri semata wayangnya.
Hujan dan air mata telah menyatu dalam doa-doa paling ijabah.
Ibu … yang rela mengorbankan apapun demi anaknya.
Beberapa saat Mak Karsi kembali bersama Bang Dadang, Ia segera
menghambur ke tempat di mana Rahma terkulai lemas. Dengan cekatan
tangannya menyahut beberapa bungkus obat-obatan dari Puskesmas kemarin.
Becak Bang Dadang membelah hujan menuju Puskesmas. Setiap tetes air
yang jatuh adalah butiran doa Mak Karsi tiada henti untuk putrinya.
‘Aku percaya pada kemurahanMu, Gustii …’ Mak Karsi mencoba meyakinkan diri bahwa Rahma akan baik-baik saja.
Sesampainya di Puskesmas, perawat jaga segera menangani.
“Rahma hanya pingsan, Bu … tenanglah …!”
Dan benar, Rahma mulai membuka mata, bibir mungil yang masih pucat itu berbisik memangggil Ibunya.
Mak Karsi menggenggam erat tangan Rahma dan menghela nafas lega.
“Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah …”
“Rahma harus menjalani rawat inap, Bu. Anak Ibu perlu menjalani
beberapa tes agar kami bisa memastikan penyakitnya.” Jelas Perawat
sambil memeriksa infus di lengan kecil Rahma.
Malam menggulung
sore yang tak ramah.Menggantinya dengan pekat berselimut mendung yang
enggan beranjak. Rahma dan Mak Karsi menghabiskan malam di Puskesmas.
Keesokan harinya gadis kecil berwajah manis itu menjalani beberapa tes.
Untunglah, pengobatan di sini gratis menggunakan kartu sehat dari
pemerintah. Meski pelayanan seadanya namun sangat membantu warga
sekitar.
”Anak Ibu mengalami ototoksik, fungsi pendengarannya
terganggu. Ini bisa sementara tapi juga bisa menjadi permanen. Saya
sarankan untuk memeriksakan Rahma ke RS di Kabupaten. Agar mendapat
penanganan lebih.” Jelas Dokter Puskesmas pelan tapi seperti petir
menggelegar, mencabik-cabik harapan hingga menjadi puing berserakan.
Keadaan Rahma sudah membaik, demamnya turun dan kata perawat besuk sudah boleh pulang.
“Mamak puasa?” tanya Rahma pelan.
Mak Karsi mengangguk.
“Rahma boleh puasa lagi kalo sudah sembuh ya, Nak …” sambung Mak Karsi.
Rahma tercengang menatap wajah Mak Karsi. Keningnya melipat, mencoba menterjemahkan sesuatu.
“Mamak puasa tidak?” tanya Rahma sekali lagi.
“Iya, Nak …Mamak puasa, lebaran tinggal sehari lagi, ini hari ke 29, Rahma”
Di tatapnya lamat-lamat wajah anak semata wayangnya itu lebih teliti.
“Mamak ngomong apa? Rahma tidak bisa dengar?”
“Lebaran sebentar lagi, Rahma …” Mak Karsi menambah volume suaranya.
Rahma mulai menangis, di genggam erat tangan Mak Karsi. Bibirnya di gigit menahan sakit.
“Rahma tak bisa dengar suara Mamak, telingaku penuh dengan dengungan ,
seperti banyak lebah bersarang di sini, maakk….hikhik.” rengek gadis
kecil itu sambil memegangi kedua telinganya.
“Duuhh … Gusti
Allah, kumohon sembuhkan anak hamba, Gusti …?” Isak Mak Karsi, lalu erat
sekali memeluk tubuh Rahma yang seketika juga tangisnya memecah di
bangsal Puskesmas yang sepi.
~~~
Sehabis maghrib, Rahma duduk
di beranda rumah sendirian. Matanya menatap rombongan kecil takbir
keliling. Wajah-wajah mereka terlihat begitu bahagia.
Suara
serempak takbir yang harusnya bisa di dengar beberapa puluh meter itu
terasa membisu di hadapan Rahma. Hanya sayup-sayup, seperti di kejauhan
sana. Dan hampir seperti suara bisikan di telinga.
Air mata gadis kecil itu meleleh, bibirnya mengucap lirih.
“Allaahu akbar ... Allaahu akbar ... Allaahu akbar ... Laa – ilaaha –
illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil – hamd.” suara
takbir Rahma terucap pelan, hujan air mata Mak Karsi yang menyaksikan
ketabahan putri kecilnya.
****************************