Sunday, September 14, 2014

----KOTAK AMANAH----

----KOTAK AMANAH----
”Cepatlah pulang, Kak!” SMS dari Intan itu dibacanya berkali-kali.
Bus melaju kencang membelah malam yang pekat. Ardi merekatkan jaket hitam itu membalut tubuhnya. Dingin tiba-tiba menyeruak lebih tajam, menembus kulit hingga tulang.
Wajah Ardi gelisah ’tak sabar. Perjalanan kali ini terasa lebih lama dari biasanya.. Padahal setiap sebulan sekali Ardi selalu melewati jalanan yang lengang ini sekitar empat jam.
”Huft ...kenapa pak sopir lama sekali nyetirnya?” gumam pemuda berkumis tipis itu.
Dilihat jam tangannya untuk kesekian kali. Tapi tak ada yang berubah. Jarum jam memang serasa sedang memperlambat putaran waktunya.
Ardi akhirnya terduduk pasrah bersandar di kursi penumpang nomor tiga dari depan. Matanya memandang keluar jendela kaca. Hanya terlihat lampu-lampu jalanan dan beberapa warung di pinggir jalan yang masih terlihat aktifitasnya. Jam menunjukkan pukul satu lewat dua puluh menit malam.
Bus mini itu berhenti di depan masjid besar.
Ardi segera meloncat turun dan bergegas melangkah, ’tak mempedulikan sepinya jalanan yang ia lalui.
Sepuluh menit kemudian, ia sampai di depan rumah paling ujung. Rumah kecil sederhana bercat putih dengan halaman penuh rumput yang terpangkas rapi. Terlihat lampu ruang tamu masih menyala.
Degub jantung Ardi makin kencang. Kakinya tiba- tiba gemetar hebat. SMS yang diterimanya tadi siang telah memberikan rasa takut dan khawatir yang luar biasa.
”Assalamu’alaikum ...” ucap Ardi sambil mengetuk pintu pelan-pelan.
Tampak seorang gadis dengan rambut sebahu membukakan pintu dengan tergesa.
”Wa’alaikumsalam ...”
”Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Ardi terburu-buru langsung masuk, menghamburkan tasnya di lantai begitu saja dan menuju kamar depan.
”Alhamdulillah Ibu membaik, Kak, Beliau menyebut nama Kakak terus,” jawab Intan sambil mengikuti langkah kakaknya menuju ranjang sang ibu.
”Kata dokter, Ibu disuruh banyak istirahat dan tidak boleh banyak pikiran,”
Ardi mengangguk, memandang wajah wanita tua yang terlelap di hadapannya. Ada kepiluan merajam-rajam di ulu hatinya. Betapa tidak tega melihat ibu yang sangat di sayanginya tergolek ’tak berdaya.
Perlahan ... mata wanita tua itu terbuka, sayu memandang kedua buah hatinya.
”Aku tahu kamu pulang, Nak ... ” bisik Bu Sita sambil melemparkan senyumnya.
”Ibu ... istirahatlah, kami di sini menjagamu,” ucap Ardi seraya mengecup tangan wanita tua itu.
”Ibu masih lemah, butuh banyak istirahat,” sambung Intan.
”Ardi ... Intan ... Alhamdulillah - Allah telah - memberi putra putri yang istimewa untukku …,” ucapnya sedikit terbata.
”Ibu ... sudah ... istirahatlah, besuk masih banyak waktu untuk bicara,” kata Ardi dengan nada yang lembut.
Wanita tua itu mengangguk dan tersenyum.
”Nak ... tolong ambilkan - kotak di laci meja ibu!”
Intan pun bergegas melaksanakan permintaan ibunya.
”Ibu ingin - memberikan tabungan ini - untuk - pembangunan masjid kampung kita,” ucap Bu Sita dengan suara makin melemah.
”Pasti ... pasti, Ibu. Kami akan sampaikan amanah, Ibu. Sekarang istirahatlah. Jangan terlalu banyak berpikir yah,” jawab Ardi sambil membelai jemari ibunya.
Bibir Bu Sita bergerak kecil melafalkan sesuatu, berbisik lirih hingga tak terdengar oleh kedua anaknya.
Kemudian mengangguk tenang, matanya bersinar penuh suka dengan senyum yang mengembang indah. Perlahan ia menata tangannya untuk bersedekap, lalu memejamkan matanya.
Ardi dan Intan yang duduk di samping ranjang menggenggam jemari-jemari keriput itu dengan air mata beruraian.
Sebentar saja Ibunya terlelap dalm tidur panjang penuh kedamaian.
--------******-------
Surabaya, 29 Agustus 2014

JURUS TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI

JURUS TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI 
“Aku akan kembali dua tahun lagi.”
“T-t-tapi, Put … “ jawab Wiro terbata.
Malam menggantung rembulan yang resah. Bintang malu-malu menampakkan wajah yang memerah. Mengintip diantara celah cemara.
Sebuah taman kecil dan bangku tua di beranda rumah.
“Ini demi keluargaku dan juga masa depan kita, Kak,” jelas Eyput.
Menatap sekilas wajah manis di sampingnya. Eyput tak kuasa menahan bulir-bulir yang jatuh dari kelopak mata. Ia menunduk, menahan gemuruh di dada yang berloncatan, saling berebut untuk di ungkapakan tapi ‘tak tahu dengan cara apa mengatakan rasa yang menusuk-nusuk perih. Bibir terkatup rapat. Hanya pandangan mata yang mewakili rasa mereka.
~~~
Empat bulan kemudian.
Eyput terbang menyongsong mega-mega yang berhamburan di langit sore. Elang menukik tajam menyambar mangsa dengan tawa kemenangan. Di atas perbukitan kecil, sepasang kelinci saling berkejaran memagut rindu, menelusup diantara semak dan bebatuan. Angin menyampaikan kabar tentang tunas-tunas daun yang menyembul dari batang, tumbuhnya sebuah harapan antara Hong Kong dan Indonesia.
Bandara Juanda saksi air mata dan langkah berat Eyput, meninggalkan keluarga tercinta, juga sebuah hati yang remuk redam menanggung rindu dendam.
~~~
“Kak Wiro …!”
“Adik, kau baik-baik saja? Bagaimana majikanmu? Apa mereka bersikap baik padamu? Aku gelisah memikirkanmu siang dan malam … ” Wiro memberondong dengan berbagai pertanyaan.
“Kakak … “ suara Eyput tertahan di tenggorokan.
Menahan rindu yang menggelitik, membuat sekat-sekat suara makin rapat.
“Kak Wiro, pertanyaanmu seperti tembakan pada perang dunia dua, hehe … aku bingung mana yang harus kujawab,” sambung Eyput kemudian.
”Sebab aku peduli dan merinduimu,” ucap Wiro di seberang sana.
Eyput tergagap, wajahnya memerah. Pipi gadis manis nan sedehana itu seperti buah cherry yang sedang ranum.
Setelah hari itu, hubungan Eyput dan Wiro dilalui dengan telepon dan chat.
Eyput, gadis berkerudung berwajah legit itu ‘tak terpengaruh dengan hiruk pikuk Negara Beton dengan segala modernisasi-nya.
Ia tetap anggun dan menjaga dirinya dari pergaulan.
Setiap hari libur, ia menghabiskan waktu untuk majelis, mengikuti pengajian-pengajian, lomba-lomba hadrah, qori’ dan juga berkecimpung dalam kegiatan sosial lainnya.
Eyput sadar betul tujuan utamanya menjadi buruh migran adalah untuk keluarga dan dirinya. Secermat mungkin ia mengatur keuangan agar bisa mencukupi kebutuhan rumah dan juga menabung untuk masa depan.
~~~
Sore itu matahari mulai berkemas. Menarik terik dan mengganti dengan semburat jingga di sudut lapangan Victoria. Semilir angir yang berembus membelai pucuk-pucuk daun, menebar aroma wangi awal musim semi. Jilbab Eyput yang berwarna biru langit berkibar disanding senyumnya yang sumringah.
“Git, lihat dech …ada lomba karaoke dan fashion show!” ucap Eyput sambil memperlihatkan hp-nya pada Gita, menscroll sebuah halaman website.
“Kamu mau ikut lomba karaoke, Put? Ah … yang benar saja …?”
“Huu … bukan karaokenya, tapi fashionnya!” Eyput tertawa lebar, mununjukkan gigi-gigi yang rapi. Dahinya berkerut menelisik persyaratan lomba itu.
“Git, kamu ‘kan cantik, imut, baik, bagaimana kalau kamu bantu aku jadi model?”
“Haa … ?” Gita terperangah. “gak usah merayu aku imut dech, udah dari dulu kalii … ”
“Mau ya, Git, pliss … ! nanti biar Keysha yang jadi penata riasnya.”
“Kamu yakin mau ikut lomba itu, Put? Lalu bagaimana kamu mendesain dan menjahit bajunya? Terus bahan bakunya darimana?”
“Tenang saja, di rumah majikanku ada mesin jahit jarang dipakai, masalah bahan aku bisa bongkar pasang, ambil dari gamis dan kain batik yang kubawa dari Indonesia waktu lalu,” sungut Eyput. “kamu mau jadi model yah, Git, pliss …! ” rengek Eyput sambil menarik-narik lengan baju Gita.
Sesaat kemudian Gita mengangguk.
“Yee …” secara spontan Eyput memeluk sahabatnya erat-erat.
Mereka berdua tertawa renyah diantara ratusan BMI yang memenuhi lapangan Victoria.
~~~
Tiga minggu berlalu.
Hari perlombaan yang di tunggu pun tiba.
Eyput, Gita dan Keysha berkumpul di depan stasiun kereta bawah tanah, Fortress Hill.
Tiga Srikandi Indonesia itu melangkah penuh semangat. Eyput telah bekerja keras untuk rancangan busana muslim batik modern-nya.
“Ah, aku minder. Sepertinya sulit untuk menang, karya teman yang lain sangat menawan,” desah Eyput perlahan, yang ternyata terdengar oleh Keysha.
“Kalah menang itu tidak jadi masalah, Put, yang penting kita berkreasi dan sudah berusaha menciptakan yang terbaik,” jawab Keysha sambil mengerlingkan matanya yang bulat.
Eyput melempar senyum manis untuk sahabatnya itu.
Ada banyak peserta dengan karya mereka yang mengagumkan.Tidak kalah dengan para perancang busana nasional yang sudah terkenal. Dan kali ini, para Srikandi Indonesia yang minim pendidikan tata busana mencoba bergelut langsung menciptakan karya. Merekahkan senyum para Bidadari Indonesia yang memenuhi gedung acara.
Gita tampak anggun berjalan di atas catwalk, layaknya model profesional yang berlenggak lenggok memperagakan busana cantiknya. Kain batik yang di padu dengan brokat berwarna biru langit untuk bawahan, payet tersusun rapi pada lengan dan ujung jilbab. Ditambah make up dari Keysha yang minimalis, menggambarkan batik tanah air pun bisa tampil dengan sangat elegan.
“Eh, Put, darimana kamu dapatkan kain warna biru untuk kombinasi bawahan itu?” bisik Keysha sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Eyput.
“Itu kain gorden di lemari, sepertinya tidak terpakai, hehe ... “ Eyput menjawab sambil menahan tawanya. ”Sstt … tak ada rotan, akar pun jadi, hehe …”
“Haah??” Keysha melongo.
Tibalah moment yang paling ditunggu yaitu penilaian dan pengumuman pemenang.
“Terimakasih kepada semua peserta yang telah mengikuti lomba yang diadakan Andyz Glyndyz bekerjasama dengan A Dien Collection, saya mewakili panitia akan mengumumkan 5 orang pemenang yang berhak mendapatkan hadiah total $ 10.000 HK.”
Dag dig dug debar jantung tiga sekawan itu. Menunggu bilakah nama kelompoknya dipanggil sebagai juara.
Pemenang nomor 5 sudah naik ke panggung, pemenang nomor 4 pun menyusul.
“Dan pemenang nomor 3 adalah … kelompok Bidadari Indonesia … ”
Putri terbengong karena kaget, tak menyangka kelompoknya punya kesempatan menyandang juara ketiga.
Mereka berpelukan sesaat. Eyput mewakili naik ke panggung untuk menerima hadiah dan penghargaan.
Mereka bertiga mengabadikan moment bersejarah rancangan busana muslim batik Indonesia itu. Raut kebahagiaan terpancar cerah.
“Kelak, di Indonesia kita akan menjadi pengusaha-pengusaha sukses, mempopulerkan busana muslim batik Indonesia. Dan kita tunjukkan pada dunia, kita para buruh migran pun bisa melakukan hal hebat dengan semangat, tekad, usaha dan doa.”
“Aamiin … “ ketiga sekawan itu berpelukan haru.
Di seberang lautan nan jauh, seorang pemuda menebar senyum sambil menatap layar datar di tangan.
”Adik ...
jikalau kau mendapati angin yang menyapa wajahmu pagi ini,
Itulah rinduku yang menjelma,
mengirimkan harum bunga semusim,
luruh dalam setangkup doa
Agar semesta menjaga cinta kita
Adik ... aku menunggumu ...”
Tulisan itu segera melesat menemui pujaan hati dalam pesan singkat, Eyput.
Gadis manis berkerudung itu tertunduk, menahan senyum dan membalas pesan.
” Kakak, tiada yang lebih membahagiakanku, selain ... kelak, kita dipertemukan dalam cinta yang halal”

*******************
Surabaya. 22 Agustus 2014

---DARAH HALAL---

---DARAH HALAL---
Sebilah pisau dapur terempas dari tangan Pak Rudi. Darah segar menggenangi lantai kamar. Kaki lelaki paruh baya itu lunglai gemetar. Hingga ia terduduk lemas menatap tubuh Rendi, putra semata wayangnya yang tergeletak tak berdaya.
Tertegun sejenak.
Mengingat perkelahian yang terjadi beberapa menit lalu.
”Kalau aku tak membunuhmu, kau pasti yang akan membunuhku, dasar anak durhaka!” Nada sinis itu keluar sambil melirik wajah mayat dengan mata terbelalak.
Pak Rudi bergegas bangkit dan keluar dari kamar yang pengap itu.
Setengah jam kemudian Ia kembali membawa beberapa peralatan, semen dan pasir.
Lelaki tua itu mulai beraksi, meletakkan mayat Rendi di belakang lemari dan memolesnya.
Tubuhnya masih gemetaran, bayangan wajah, darah dan rintihan Rendi yang mengerang kesakitan membayang di pelupuk mata.
~~~
Sore itu Bu Dita kembali dari rumah saudara jauhnya.
”Rendi ke mana, Pak?”
”Nggak tahu, Bu ne, aku juga belum ketemu dari tadi siang kok.”
”Ya sudah, biar damai sebentar rumah ini. Aku tuh sering takut anak itu pulang marah-marah sambil mabuk, ujung-ujungnya minta uang. Hm ... bahkan Ibu ini juga sering di pukul loh, Pak.” Bu Dita menghela napas panjang.
Pak Rudi terdiam, mengalihkan pandangan pada acara televisi.
Pikirannya menerawang jauh tak tentu arah. Rasa bersalah, penyesalan, juga sebuah kelegaan bercampur aduk menjadi satu.
~~~
Tiga hari berselang.
Beberapa polisi menggeledah rumah mencari Rendi.
Laporan orang tua Melani, anaknya hilang lima hari lalu beserta sepeda motornya.
”Mana kuncinya?”
Dengan berat hati Pak Rudi menyerahkan kunci kamar Rendi.
Terbukalah pintu kamar, bau menyengat. Jendela kamar tertutup rapat.
Polisi mulai curiga, melontarkan beberapa pertanyaan singkat mengenai keberadaan Rendi.
Polisi mencurigai polesan semen di belakang lemari dan lantai yang masih baru di bawah meja. Sepertinya sekitar seminggu ini di bongkar pasang.
Bu Dita tertegun di ruang tamu, menunggu dengan debar yang bergemuruh.
Beberapa jam kemudian, kamar itu dibongkar.
Dan benar adanya, polisi menemukan tubuh Rendi menempel di dinding belakang lemari, juga di bawah meja sosok mayat gadis yang sedang dicari.
Pak Rudi terperangah, tak menyangka Melani telah terkubur di lantai rumahnya sendiri.
Kini jelaslah bahwa Rendi telah membunuh Melani, dan menjual sepeda motornya untuk mabuk dan berjudi.
Suasana hening sebentar.
”Ya, saya yang menghabisi anak durhaka itu, saya ingin merdeka dari rasa bersalah punya anak bej*t. Lebih baik kubunuh daripada dia membunuh orang lain lebih banyak lagi. Lebih baik kutanggung dosa membunuhnya, daripada kelak aku tak bisa bertanggung jawab pada Tuhan karena ’tak bisa mendidik anak,” jelas Pak Rudi berapi yang kemudian digiring ke kantor polisi.

Surabaya,8 Agustus 2014

Friday, August 1, 2014

TAKBIR BISU UNTUK RAHMA

 TAKBIR BISU UNTUK RAHMA

Tubuh Rahma terguncang hebat, jemari kecilnya menggenggam selimut kumal. Gigi gemeretak. Dipan tua dengan rengekan yang khas menjadi alas tidur bocah kecil berumur tujuh tahun itu.
Di atas meja, semangkuk bubur putih belum tersentuh. Ada beberapa butir obat dari Puskesmas tersimpan rapat dalam plastik klip ukuran kecil.

"Emaak, dingiinn ... Maakk ..." desis Rahma di antara gigil tubuhnya.

Wanita separuh baya tergopoh-gopoh dari ruang belakang rumah.

“Sini … mamak peluk, mana yang sakit, Nduk?” Mak Karsi memeluk tubuh Rahma yang menggigil.

Gadis kecil itu meringkuk dalam dekapan. Matanya terpejam menahan demam tubuh yang semakin tinggi. Rahma merasakan sakit di bagian tenggorokannya seolah menyumbat ruang pernapasan. Gendang telinga berdengung kencang bersahutan dengan tiap sesenggukan. Air mata pun meleleh mengairi pipi dua perempuan yang saling berpelukan.

Sejurus kemudian, tubuh Rahma lemas terkulai di pelukan Mak Karsi.

“Rahmaa … ada apa nduk? Bilang Mamak mana yang sakit, Rahmaa … sadar, Nduk … banguun …!?” Mak Karsi setengah berteriak sambil mengguncang tubuh Rahma yang mulai pucat. Bibirnya terkatup rapat. Matanya pun terpejam.

“Duuh … Gustii … kumohon beri lah kesembuhan pada anak hamba, hamba rela menukar dengan nyawa hamba, Gustii …?” Mak Karsi histeris, air matanya menganak sungai.

Sebentar Ia bangkit dan meninggalkan tubuh Rahma di atas dipan.

Di luar hujan menderas. Tanah-tanah berlapis rumput di hantam hujan, Hari ke 27 bulan Ramadan.

Mak Karsi berlari sekencang mungkin mencari bantuan. Puskesmas satu-satunya ada di tengah desa.
Dan Ia teringat Bang Dadang, tetangganya yang tukang becak.

Bergegaslah kaki Mak Karsi menantang hujan. Tak di rasa lagi segala keletihannya di sawah tadi siang.
Yah, Mak Karsi harus banting tulang sendiri menghidupi putri semata wayangnya.

Hujan dan air mata telah menyatu dalam doa-doa paling ijabah.
Ibu … yang rela mengorbankan apapun demi anaknya.

Beberapa saat Mak Karsi kembali bersama Bang Dadang, Ia segera menghambur ke tempat di mana Rahma terkulai lemas. Dengan cekatan tangannya menyahut beberapa bungkus obat-obatan dari Puskesmas kemarin.

Becak Bang Dadang membelah hujan menuju Puskesmas. Setiap tetes air yang jatuh adalah butiran doa Mak Karsi tiada henti untuk putrinya.

Aku percaya pada kemurahanMu, Gustii …’ Mak Karsi mencoba meyakinkan diri bahwa Rahma akan baik-baik saja.

Sesampainya di Puskesmas, perawat jaga segera menangani.

“Rahma hanya pingsan, Bu … tenanglah …!”

Dan benar, Rahma mulai membuka mata, bibir mungil yang masih pucat itu berbisik memangggil Ibunya.
Mak Karsi menggenggam erat tangan Rahma dan menghela nafas lega.

“Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah …”

“Rahma harus menjalani rawat inap, Bu. Anak Ibu perlu menjalani beberapa tes agar kami bisa memastikan penyakitnya.” Jelas Perawat sambil memeriksa infus di lengan kecil Rahma.

Malam menggulung sore yang tak ramah.Menggantinya dengan pekat berselimut mendung yang enggan beranjak. Rahma dan Mak Karsi menghabiskan malam di Puskesmas.

Keesokan harinya gadis kecil berwajah manis itu menjalani beberapa tes.
Untunglah, pengobatan di sini gratis menggunakan kartu sehat dari pemerintah. Meski pelayanan seadanya namun sangat membantu warga sekitar.

”Anak Ibu mengalami ototoksik, fungsi pendengarannya terganggu. Ini bisa sementara tapi juga bisa menjadi permanen. Saya sarankan untuk memeriksakan Rahma ke RS di Kabupaten. Agar mendapat penanganan lebih.” Jelas Dokter Puskesmas pelan tapi seperti petir menggelegar, mencabik-cabik harapan hingga menjadi puing berserakan.

Keadaan Rahma sudah membaik, demamnya turun dan kata perawat besuk sudah boleh pulang.

“Mamak puasa?” tanya Rahma pelan.
Mak Karsi mengangguk.

“Rahma boleh puasa lagi kalo sudah sembuh ya, Nak …” sambung Mak Karsi.

Rahma tercengang menatap wajah Mak Karsi. Keningnya melipat, mencoba menterjemahkan sesuatu.

“Mamak puasa tidak?” tanya Rahma sekali lagi.

“Iya, Nak …Mamak puasa, lebaran tinggal sehari lagi, ini hari ke 29, Rahma”

Di tatapnya lamat-lamat wajah anak semata wayangnya itu lebih teliti.

“Mamak ngomong apa? Rahma tidak bisa dengar?”

“Lebaran sebentar lagi, Rahma …” Mak Karsi menambah volume suaranya.

Rahma mulai menangis, di genggam erat tangan Mak Karsi. Bibirnya di gigit menahan sakit.

“Rahma tak bisa dengar suara Mamak, telingaku penuh dengan dengungan , seperti banyak lebah bersarang di sini, maakk….hikhik.” rengek gadis kecil itu sambil memegangi kedua telinganya.

“Duuhh … Gusti Allah, kumohon sembuhkan anak hamba, Gusti …?” Isak Mak Karsi, lalu erat sekali memeluk tubuh Rahma yang seketika juga tangisnya memecah di bangsal Puskesmas yang sepi.
~~~
Sehabis maghrib, Rahma duduk di beranda rumah sendirian. Matanya menatap rombongan kecil takbir keliling. Wajah-wajah mereka terlihat begitu bahagia.

Suara serempak takbir yang harusnya bisa di dengar beberapa puluh meter itu terasa membisu di hadapan Rahma. Hanya sayup-sayup, seperti di kejauhan sana. Dan hampir seperti suara bisikan di telinga.
Air mata gadis kecil itu meleleh, bibirnya mengucap lirih.

“Allaahu akbar ... Allaahu akbar ... Allaahu akbar ... Laa – ilaaha – illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil – hamd.” suara takbir Rahma terucap pelan, hujan air mata Mak Karsi yang menyaksikan ketabahan putri kecilnya.
****************************